MEMBACA boleh, MENGAPRESIASI boleh, COPY PASTE? Jangan merendahkan dirimu sendiri dengan menjadi PLAGIAT! TOLONG HARGAI HAK CIPTA. Selamat membaca :)

Selasa, 08 September 2015

Kamu tidak akan pernah tahu rasanya.

Harusnya aku memang tak perlu menghubungimu lagi, jika hanya untuk bertengkar dan memperdebatkan hal-hal tolol yang membuatku memutuskan pergi. Harusnya tak perlu aku membantumu lagi, jika hanya untuk kamu sakiti untuk yang kedua kali. Harusnya sudah sejak dulu kita berpisah, sehingga aku tak merasa terluka sedalam ini. Kamu menawarkan banyak hal yang seharusnya aku tolak. Aku kira, aku sekuat baja, ternyata aku hanya Hawa yang tertipu dengan bisikan ular berbisa. Kamu hanya orang biasa, tidak punya apa-apa, tak ketemukan sisi menarik dari dirimu. Bodohnya, aku mencintaimu, sangat mencintaimu, perasaan itu pun masih sama meskipun aku berusaha sekuat mungkin untuk menghindarimu. Sekarang, aku merasa menjadi gadis paling tolol yang tiba-tiba lemah karena tersakiti cinta. Kamu pergi justru di saat aku berharap semua mimpi kita bisa menjadi nyata. Aku kira kamu berbeda dan di otakku telah muncul banyak khayalan yang suatu saat bisa kita abadikan. Telah tergambar jelas bagaimana kelak kita bisa masuk gereja bersama, merapal doa yang sama, dan mengucapkan Doa Bapa Kami secara bersama. Aku telah membangun semua mimpi itu meskipun kamu tidak pernah tahu, tapi tiba-tiba kamu remukan semua, kamu hancurkan tanpa pikir panjang, dan kamu meninggalkanku seperti tak terjadi apapun. Kamu tidak akan pernah tahu rasanya jadi aku. Jadi orang yang sulit untuk bernapas karena tidak tahu kabarmu. Kamu tidak akan pernah tahu rasanya jadi perempuan yang diam-diam menangisimu ketika membaca seluruh pesan singkat kita dulu. Kamu tak akan pernah tahu rasanya jadi orang paling menderita karena merasa dibohongi sejauh ini. Kamu tidak akan pernah tahu dan otak bodohmu itu juga tak akan pernah paham. Perasaan dan hatimu yang telah mati tak akan mungkin mengerti. Iya, aku yang bodoh, semua salahku, selalu salahku. Aku tidak bisa melupakan berisiknya suara sepeda motormu, kendaraan yang selalu mengantarku pulang hingga depan pagar rumah. Aku tidak bisa lupa caramu memandangku dari kaca spion, bagaimana matamu melirikku dengan ramah. Aku tidak bisa melupakan pelukmu, yang selalu kuanggap rumah untuk pulang. Aku tidak bisa melupakan leluconmu yang sebenarnya tak lucu, namun karena aku sangat mencintaimu, sebisa mungkin aku berusaha tertawa. Aku tidak bisa lupa bagaimana tawamu bisa benar-benar membuatku merasa lega dan tenang. Aku tidak bisa melupakan dialek anehmu saat berbicara, gaya bicaramu yang selalu membuatku rindu. Aku tidak bisa melupakan genggaman erat jemarimu yang entah bagaimana bisa seketika menenangkanku. Aku tidak bisa berhenti untuk menatap pagar rumah, berharap kamu tiba-tiba ada di situ, membawakanku selusin senyuman dan sepotong pelukan. Aku ini gadis bodoh yang hobinya cuma menangis, bermimpi, menulis, lalu tak pernah tahu apa yang harus aku lakukan jika hatiku sedang sangat remuk seperti ini. Aku tak tahu apa arti dari semua ini. Apa arti hubungan kita yang berjalan hanya sesaat ini. Apa arti kebohonganmu yang sebenarnya tak bisa dimaafkan tapi selalu berusaha aku maafkan. Aku tak mengerti mengapa sekarang kita masih berkabaran, namun status hubungan kita penuh ketidakjelasan Aku tak mengerti mengapa pria bodoh sepertimu bisa membuatmu merasa gadis paling gila di dunia. Kamu membuat duniaku jungkir balik, pernapasanku selalu sesak karena lelah menangis, dan mataku selalu kabut karena penuh mendung. Kamu mengubah duniaku jadi berbeda. Aku sudah terbiasa denganmu. Terbiasa dengan pesan singkatmu, terbiasa dengan sapaanmu di ujung telepon, terbiasa dengan pelukmu, terbiasa dengan suara sepeda motormu, terbiasa dengan hadirmu, terbiasa dengan kita. Bagaimana mungkin kamu dan aku, yang sempat menjadi kita, harus kembali berpisah lagi menjadi aku dan kamu, sedangkan aku sangat nyaman menjadi kita? Kamu tentu tidak akan pernah tahu rasanya jadi aku. Rasanya jadi gadis yang selalu menatap ponsel hanya karena menunggu kabar darimu. Kamu tak tahu rasanya jadi wanita yang tak tahu apa-apa, namun tiba-tiba dunianya jadi dibikin berbeda karena kehadiranmu. Kamu tak akan pernah tahu rasanya jadi aku-- yang selalu menunggumu pulang. Ada banyak mimpi yang belum terwujud bersamamu. Salah satunya adalah aku ingin memelukmu semalaman, tak perlu ada percakapan, memelukmu sudah lebih dari cukup. Aku ingin mendengar degup jantungmu, merasakan degup cinta seperti apa yang ada di dadamu. Jika sudah mewujudkan mimpi yang satu itu, silakan kalau kamu mau pergi. Pergilah, kembali pada Tuhanmu, berhentilah berpura-pura seakan kamu mengenal Tuhanku.

Minggu, 14 Juli 2013

(+/-)22 Minggu Kepergianmu.

Aku pernah jadi paling bahagia. Aku pernah dalam keadaan baik-baik saja. Kita pernah merasa bahwa yang aku dan kamu jalani adalah yang selama ini kita cari-cari, kebahagiaan yang nyata meskipun berbeda.
Sudah lewat (+/-)22 minggu sejak kepergian kamu dan ingatanku masih sangat tajam mengenang kita yang dulu pernah ada. Aku pernah kau buat tertawa dalam setiap canda kita, dalam setiap pesan singkat, dan dalam setiap sambungan telepon. Saat itu, aku percaya bahwa kamulah yang kelak akan membukakan mataku tentang cinta, mengubah persepsiku bahwa cinta tak selalu luka dan dusta.
Aku salah mengartikan semuanya. Kupikir perhatianmu sungguh kau tunjukkan untukku. Kukira segala ungkapan dan ucapanmu adalah hal mutlak yang menjadi peganganku. Kuterka bahwa yang selama ini kita jalani adalah kekuatan cinta. Ah, aku begitu cepat menduga. Yang selama ini kuberi nama cinta, hanyalah omong kosong belaka. Yang kukira perasaanmu nyata, ternyata hanya rasa iseng yang pura-pura kau seriusi. Dalam pikiranmu, aku dianggap sebagai medan permainan, tempat kau melarikan kekesalan pada dunia yang tak lagi tunduk pada keinginanmu. Kau perlakukan aku layaknya boneka, kau lumpuhkan hatinya, kau butakan perasaannya, lalu kau atur segalanya. Kau rancang semuanya, hingga mataku buta, hingga teligaku tuli; hingga aku tak bisa membedakan mana cinta dan dusta.
Aku tak tahu, apakah kata sayang yang dulu kau ucapkan dalam setiap percakapan kita, hanyalah bualan yang kaupikir bisa dijadikan bahan candaan? Kamu pernah berjanji, Sayang. Ingatkah? Kalau diizinkan aku mengungkit segalanya, lantas mengapa kau pergi ketika aku sedang cinta-cintanya?
Setelah kepergianmu, kamu tak pernah lagi pulang. Bahkan untuk sekedar tahu kabarku, bahkan untuk mengetahui lukaku; kamu tak mau. Kita berpisah tanpa kata pisah. Kita menjauh tanpa pernah tahu yang sesungguhnya terjadi. Rasanya ingin kukatakan berkali-kali bahwa bukan ini yang kumau, bahwa bukan kepergianmu yang selama ini ku tunggu. Kubiarkan kau terus mendekatiku, kuterima kau dalam keadaan burukmu, kurangkul kau dalam doa; tapi nyatanya kau bikin aku begini,sangat tersiksa. Jika selama ini semua terasa begitu manis, mengapa kau berikan aku sesuatu yang sangat pahit di akhir, Sayang?
(+/-)22 minggu setelah kepergian kamu. Tak banyak berubah. Langitku masih sama, mendungku masih ada. Sakitku masih parah, lukaku masih merah. Hatiku masih lebam, ingatanku masih keram. Kamu datang dan pergi sesuka hati, membiarkanku jadi penonton dalam dramamu. Kamu berganti topeng sesuka hati, membiarkanku kebingungan membedakan dirimu yang sesungguhnya masih begitu abu-abu.
Tak pantas lagi mengharapmu kembali, kamu yang (+/-)22 minggu lalu masih begitu manis, tiba-tiba sekarang jadi begitu sadis. Kamu yang kukenal baik, lugu, dan tak banyak tingkah kini sudah berganti wajah. Aku tak paham pria macam apa yang dulu kucintai. Ketololanku semakin lengkap ketika kutahu, kamu begitu mudah punya yang baru, sementara di sini aku masih sibuk menyembuhkan lukaku. Walau sebenarnya bisa saja aku mendapatkan penggantimu dengan cepat,namun nyatanya aku masih sibuk menyembuhkan luka yang kau beri.
Di antara rasa lelah menunggu, di antara kesabaran merindu; ternyata aku masih berani merapal namamu dalah setiap doaku. Selamat (+/-)22 minggu, Sayang. Kapan pulang?
Harusnya kita tak pernah ada: agar aku tak perlu terluka.

Jumat, 14 Juni 2013

290 Hari

Aku tak pernah sesedih ini. Kukira waktu yang kubutuhkan untuk melupakanmu tak sepanjang ini. Aku salah besar, hari-hari yang kulalui, bersama dengan usaha untuk melupakanmu, ternyata tak menemukan titik temu. Kamu masih jadi segalanya, masih berdiam dalam kepala, masih jadi yang paling penting dalam hati. Maaf, jika segala kejujuranku terdengar bodoh. Sebentar lagi, kamu pasti akan berkata bahwa sikapku berlebihan. Seandainya sekarang aku berada di sampingmu, akan kuceritakan sebuah kisah tentang melupakan dan mengikhlaskan, sungguh dua hal itu bukanlah hal yang mudah.
290 hari harusnya waktu yang sangat cukup untuk menghilangkan perasaan, namun aku tak termasuk dalam pernyataan itu. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun dan sosokmu masih jadi penunggu, menyergap perhatianku, menguji imanku, dan merontokan kepercayaanku. Tubuhku dingin dan menggigil saat menghadapi perpisahan. Belum kutemukan bisikkan lembut, selembut ketika kamu membisikkan tentang cinta, mimpi, dan harapan-harapan yang dulu ingin kita wujudkan berdua.
Sekali lagi aku katakan, melupakan tak akan pernah mudah. Merelakan yang pernah ada menjadi tidak ada adalah kerumitan yang belum tentu kau tahu rasanya. Aku menulis ini saat aku terlalu lelah dihajar kenangan. Mengapa di otakku; kau tek pernah hilang barang sedetik saja? Perkenalan kita terlalu singkat untuk dibilang cinta dan terlalu dalam jika dibilang ketertarikan sesaat. Aku tak tahu harus diberi nama apa kedekatan kita dulu. Aku tak mengerti mengapa aku yang tak mudah tergoda ini malah begitu saja terjebak dalam perhatian dan tindakanmu yang berbeda. Kamu sangat luar biasa di mataku, dulu dan sekarang; tetap sama.
Dan, aku masih menangisi juga menyesali yang sempat terjadi. Bertanya-tanya dalam hati, mengapa semua harus berakhir sesakit ini? Apa tujuanmu menyakitiku jika dulu kita pernah menjadi belahan jiwa yang enggan saling melepaskan? Aku tak tahu sedang berbuat apa kamu disana. Aku tak lagi tahu kabarmu. Segala ke tidak tahuanku mengantarkanku pada perasaan asing, rindu yang semakin hari semakin berontak. Rindu yang meminta pertemuan nyata. Rindu yang memaksa dua orang yang sekarang berjauhan untuk kembali berdekatan.
Kalau aku berada disampingmu sekarang, ingin rasanya aku mengulang segalanya. Kuperbudak waktu, kehentikan detak jarum jam semauku. Agar yang hadir dalam hari-hariku hanyalah kamu, hanyalah kita, dan hanyalah bahagia tanpa air mata. Seandainya hal itu bisa kulakukan, mungkin sekarang aku tak akan merindukanmu sesering dan sedalam sekarang.
Bisakah kau membantuku untuk memudahkan segalanya? Agar aku bisa terima, bisa mengihklaskan, bisa merelakan dengan sangat gampang! Benarkah semua hanya bualanmu? Betulkah kebersamaan kita kau anggap sebagai permainan? Mengapa aku terlalu bodoh untuk membaca hal itu dari awal? Apa karena kau terlalu berkilau, hingga mataku terlanjur buta dan telingaku seketika tuli, jadi yang kulihat dan kudengar hanya bisikkan harapan yang sebenarnya sungguh bukanlah kenyataan.
Berhenti menyiksa aku dengan segala macam rindu dan kenangan, atau mungkin aku yang menyiksa diriku sendiri karena tak mampu melupakanmu? Ah, sudahlah, aku cuma ingin memberitahu, kita sudah 290 hari berpisah dan berjalan sendiri-sendiri. Jadi, apa kabarmu sekarang? Apakah kamu masih semanis dan semenyenagkan seperti dulu? Ataukah kamu yang sekarang adalah kamu yang tanpa topeng, kamu yang ternyata jauh berbeda dari yang kukira?
Aku benci harus mengakui ini. Aku sering merindukanmu dan memendam perasaanku. Tersiksa dengan angan sendiri, mengiris hati dengan kemauan sendiri. Aku ingin mengaku (dengan sangat terpaksa) bahwa aku masih mencintaimu dan berharap kamu kembali, walaupun hanya untuk menenangkanku dan berkata segalanya akan baik-baik saja.
Kamu ingin kembali? Iya? Masa?
Kamu ingin kembali? Tidak? Oke?

Sabtu, 08 Juni 2013

1 Tahun, 12 Bulan, 52 Minggu lebih sehari, 365 Hari, 8760 Jam, 3197400 Detik..Setelah KepergianMu

"Dan semenjak ada dia, kamu bukan kamu yang seperti dulu. Tiada lagi kisah indah. Meskipun engkau telah pergi mungkin takkan kembali aku disini, tetap disini sayangku. Aku masih rindu padamu. Aku masih sayang padamu, meski kini cintamu bukan aku" - sing.
Aku menulis ini ketika aku sadar tak akan ada yang bisa dikembalikan seperti dulu lagi. Aku menulis ini ketika aku berpikir bahwa disana kamu pasti telah menemukan seseorang yang baru. Seseorang yang bisa mencintaimu, memahamimu, dan mengerti keinginanmu lebih baik daripada aku. Mungkin, rendahnya kepekaanku dan tingginya keegoisanku membuat kamu pergi dan menjauh. Seandainya, bisa kuputar kembali waktu, aku tidak akan membiarkanmu pergi dan akan menahanmu sampai Tuhan bosan melihat usahaku.
Aku mulai mencintaimu, mulai membiasakan diri akan kehadiranmu, dan mulai percaya yang kau rasakan juga adalah cinta. Setiap kau sapa aku dan setiap tatap matamu menyentuh hangat tatap mataku; aku percaya ini cinta. Dulu, aku takut mengartikan kata-katamu dan segala kalimat-kalimat manis itu adalah salah satu respon bahwa kau juga punya rasa yang sama.
Pada akhirnya aku sadar, aku hanya pelarian tempat kamu meletakkan kecemasan. Aku hanyalah persinggahan, ketika kamu lelah untuk berjalan. Dulu, aku tak ingin mendengar semua perkataan teman-temanku. Aku mencoba tutup telinga pada setiap bisikkan yang mereka lontarkan. Aku tak menyangka jika orang yang begitu halus membisikan cinta, begitu manis mengucapkan rindu, dan begitu mudah berkata sayang adalah orang yang harusnya dari awal tidak kupercayai gerak-geriknya.
Kamu tak tahu betapa aku begitu tergoda akan kehadiranmu. Kamu tak sadar betapa aku ingin sebuah penyatuan, meskipun kita berbeda. Kamu tak paham betapa cinta mulai mengetuk pintu hatiku dan aku mulai mengizinkan kamu berdiam disana. Sungguh bodoh. Mengapa begitu mudah menjatuhkan air mata untuk kamu yang tak pernah menangisiku? Mengapa rindu begitu sialan karena menjadikanmu sosok yang paling sering kusebut dalam doa? Mengapa cinta begitu tak masuk akal ketika perkenalan singkat kita berujung pada hal yang tak kuduga? Kau tak tahu betapa sulitnya melupakan perasaan yang sudah melekat, betapa tidak mudahnya menghilangkan kamu dari hati dan otakku. Cinta ini datang begitu mudah dan entah mengapa membenci begitu susah.
Kalau kau ingin tahu seberapa dalam perasaanku, cinta ini seperti air laut yang enggan surut. Aku telah tenggelam, sementara kamu yang berada di pesisir pantai hanya bisa melambaikan tangan dan menertawakan kesesakanku. Apa yang bisa kau anggap lucu dari perasan ini? Mengapa kau begitu mudah menjadikan perasaanku sebagai candaan yang kau pikir bisa membuatku tertawa?
Sinaran pesonamu, membutakan segalaku. Begitu mudah aku terjebak bayang-bayang yang kupikir nyata. Begitu gampangnya aku terjerumus pada kesemuan yang tak pernah jadi kenyataan. Harus kularikan kemana cinta yang semakin dalam ini? Harus kubuang kemana rindu yang tiba-tiba sering berujung air mata ini? Haruskah aku bilang padamu, dengan mata yang sembab, dengan rambut yang beratakkan, dengan wajah yang begitu lelah.....hanya untuk memintamu kembali?
Pertanyaan tentang perasaanku telah terjawab, walau tak kau jawab secara langsung. Kau tak punya perasaan sedalam yang kuberikan, kau tak merindukanku sesering aku merindukanmu, dan kau tak ingin menjadikanku pertama. Ah, pernahkah kau rasakan menjadi sosok yang selalu diletakkan dinomor sekian? Yang tetap mencintai walau disakiti? Yang tetap mengabdi walau dilukai?
Seandainya semua bisa kembali seperti dulu lagi. Mungkin aku tak akan sesedih ini, tak akan seberantakkan ini, dan tak akan segila ini.
Kalau kau ingin pergi, maka pergilah. Tapi berjanjilah padaku: aku adalah perempuan yang terakhir kau sakiti. Setelah ini, pergilah pada ibumu dan cintai beliau dengan ketulusan, sehingga kau bisa belajar mencintai perempuan lain dengan ketulusan yang sama. Katakan padaku, kau akan menganggap kata sayang adalah kata yang sakral, sehingga tak akan kamu ucapkan hanya untuk menyakiti perasaan seorang perempuan. Katakan padaku, jika kau tak mampu melakukan semua hal itu, aku bisa bantu kamu. Tapi, kamu kembali dan mau kuajak saling memahami.
Suata saat nanti, kita akan bertemu dengan kebahagiaan masing-masing. Kau merangkul kekasih barumu dan memperkenalkannya padaku, Aku menggenggam erat jemari kekasihku yang berhasil menghapus mendung dihari-hariku. Lalu, kita menertawakan masa lalu, betapa dulu aku dan kamu pernah begitu lucu.
Kemudian, lukaku bisa kau jadikan materi stand upcomedy-mu, tertawakan aku sepuasmu. Setelah itu kumasukan kau dalam sebuah tulisan; kusiksa kamu sampai jera, kubiarkan kau jadi tokoh yang tertawa lebih dulu tapi menangis sekencang-kencangnya diakhir cerita.
Terimakasih untuk tawa yang kau titipkan pada setiap candaanmu diujung malam. Terimakasih juga kau telah memperkenalkanku angka favorite mu, angka 8 dan asal kau tahu ya aku jadi sering dihantui angka itu. Sekarang aku sadar, betapa sosok yang pernah membuatku tertawa paling kencang juga adalah pria yang bisa membuatku menangis paling kencang. TERIMA KASIH :)

Kamis, 16 Mei 2013

Karena Ku Cinta Kau

Jika ada yang bilang ku lupa kau, jangan kau dengar. Jika ada yang bilang ku tak setia, jangan kau dengar. Bila ada yang bilang ku tak baik, jangan kau dengar. Bila ada yang bilang ku berubah, jangan kau dengar. Banyak cinta yang datang mendekat, ku menolak karena kau yang aku inginkan. Semua itu karena ku cinta kau.
Saat ku ingat kau, belum tentu kau ingat aku. Saat ku rindu belum tentu kau juga rasa. Kau tahu ku slalu ingin denganmu. Ku pastikan yang terbaik yang bisa ku lakukan, Tuhan pun tahu ku cinta kau.
Jika kau tak percaya pada ku, sedihnya aku. Jika kau lebih dengar mereka, sakit hatiku
Banyak cinta yang datang mendekat, ku menolak. Semua itu karena ku cinta kau

Sang Mantan

Dulu aku kau puja. Dulu aku kau sayang. Dulu aku sang juara yang selalu engkau cinta. Kini roda telah berputar. Kini aku kau hina. Kini aku kau buang jauh dari hidupmu. Kini aku sengsara. Roda memang telah berputar.
Mana janji manismu mencintaiku sampai mati? Kini engkau pun pergi saat ku terpuruk sendiri. Akulah sang mantan. Sakit teriris sepi, ketika cinta telah pergi.
Mana janji manismu mau menyatu dalam pernikahan?
Mana janji-janjimu?? hei mana janji-janji mu? TEPATIN DONG AKU MASIH INGET SEMUANYA LOH! :)

Sabtu, 11 Mei 2013

Bisakah kau bayangkan rasanya jadi aku?

Kamu pernah menjadi bagian hari-hariku. Setiap malam, sebelum tidur, kuhabiskan beberapa menit untuk membaca pesan singkatmu. Tawa kecilmu, kecupan berbentuk tulisan, dan canda kita selalu membuatku tersenyum diam-diam. Perasaan ini sangat dalam, sehingga aku memilih untuk memendam.
Jatuh cinta terjadi karena proses yang sangat panjang, itulah proses yang seharusnya aku lewati secara alamiah dan manusiawi. Proses yang panjang itu ternyata tak terjadi, pertama kali melihatmu; aku tahu suatu saat nanti kita bisa berada di status yang lebih special. Aku terlalu penasaran ketika mengetahui kehadiranmu mulai mengisi kekosongan hatiku. Kebahagiaanku mulai hadir ketika kamu menyapaku lebih dulu dalam pesan singkat. Semua begitu bahagia....dulu sebelum negara api menyerang.
Aku sudah berharap lebih. Kugantungkan harapanku padamu. Kuberikan sepenuhnya perhatianku untukmu. Sayangnya, semua hal itu seakan tak kau gubris. Kamu disampingku, tapi getaran yang kuciptakan seakan tak benar-benar kau rasakan. Kamu berasa didekatku, namun segala perhatianku seperti menguap tak berbekas. Apakah kamu benar tidak memikirkan aku? bukankah kata teman-temanmu, kamu adalah perenung yang seringkali menangis ketika memikirkan sesuatau yang begitu dalam? Temanmu bilang, kamu melankolis, senang memendam, dan enggan bertindak banyak. Kamu lebih senang menunggu. Benarkah kamu memang menunggu? Apalagi yang kau tunggu jika kau sudah tahu bahwa aku mencintaimu?
Tuan, tak mungkin kau tak tahu ada perasaan aneh di dadaku. Kekasihku yang belum sempat kumiliki, tak mungkin kau tak memahami perjuangan yang kulakukan untukmu. Kamu ingin tahu rasanya seperti aku? Dari awal, ketika pertama kali kita berkenalan, aku hanya ingin melihatmu bahagia. Senyum mu adalah salah satu keteduhan yang paling ingin kulihat setiap hari. Dulu, aku berharap bisa menjadi salah satu sebab kau tersenyum setiap harinya, tapi ternyata harapanku terlalu tinggi.
Semua telah berakhir. Tanpa ucapan pisah. Tanpa lambaian tangan. Tanpa kau jujur mengenai perasaanmu. Perjuanganku terhenti karena aku merasa tak pantas lagi berada di sisimu. Sudah ada seseorang yang baru, yang nampaknya jauh lebih baik dan sempurna dari pada aku. Tentu saja, jika dia tak sempurna-kau tak akan memilih dia menjadi satu-satunya bagimu.
Setelah tahu semua itu, apakah kamu pernah minilik sedikit saja perasaanku? Ini semua terasa aneh bagiku. Kita yang dulu sempat dekat, walaupun tak punya status apa-apa, meskipun berada dala ketidakjelasan, tiba-tiba menjauh tanpa sebab. Aku yang terbiasa dengan sapaan mu di pesan singkat harus (terpaksa) ikhlas karena akhirnya kamu sibuk dengan kekasihmu. Aku berusaha memahami itu. Setiap hari. Setiap waktu. Aku berusaha meyakini diriku bahwa semua sudah berakhir dan aku tak boleh lagi berharap terlalu jauh.
Tuan, jika aku bisa langsung meminta kepada Tuhan, aku tak ingin perkenalan kita terjadi. Aku tak ingin mendengar suaramu ketika menyebutkan namaku. Aku tak ingin membaca pesan singkatmu yang lugu tapi manis. Sungguh, aku tak ingin segala hal manis itu terjadi jika pada akhirnya kamu menghempaskan aku sekeji ini.
Kalau kau ingin tahu bagaimana perasaanku, seluruh kosakata dalam milyaran bahasa tak mampu mendeksripsikan. Perasaan bukanlah susunan kata atau kalimat yang bisa dijelaskan dengan definisi dan arti. Perasaan adalah ruang paling dalam yang tak bisa tersentuh hanya dengan perkataan dan bualan. Aku lelah. Itulah perasaanku. Sudah kau pahami? Belum. Tentu saja. Apa pedulimu padaku? Aku tak pernah ada dalam matamu, aku selalu tak punya tempat dalam hatimu.
Setiap hari, setiap waktu, setiap aku melihatmu dengannya; aku selalu berusaha menganggap semua baik-baik saja. Semua akan berakhir seiring berjalannya waktu. Aku membayangkan perasaanku yang suatu saat nanti pasti akan hilang, aku memimpikan lukaku akan segera kering, dan tak ada lagi hal-hal penyebab aku menangis setiap malam. Namun... sampai kapan aku harus terus mencoba?
Sementara ini saja, aku tak kuat melihatmu menggenggam jemarinya. Sulit bagiku menerima kenyataan bahwa kamu yang begitu kucintai ternyata malah memilih pergi bersama yang lain. Tak mudah meyakinkan diriku sendiri untuk segera melupakanmu kiemudian mencari penggantimu.
Seandainya kamu bisa membaca perasaanku dan kamu bisa mengetahui isi otakku, mungkin hatimu yang beku akan segera mencair. Aku tak tahu apa salahku, sehingga kita yang baru saja kenal, baru saja mencicipi cinta, tiba-tiba terhempas dari dunia mimpi ke dunia nyata. Tak penasarankah kamu pada nasib yang membiarkan kita kediginan sendirian tanpa teman atau kekasih?
Aku menulis ini ketika mataku tak kuat lagi menangis. Aku menulis ini ketika mulutku tak mampu lagi mengeluh. Aku mengingatmu sebagai sosok yang pernah hadir, meskipun tak pernah benar-pernah tinggal. Seandainya kau tahu perasaanku dan bisa membaca keajaiban dalam perjuanganku, mungkin kamu akan berbalik arah--memilihku sebagai tujuan. Tapi, aku hanya persinggahan, tempatmu meletakan segala kecemasan, lalu pergi tanpa janji untuk pulang.
Semoga kau tahu, aku berjuang, setiap hari untuk melupakan mu. Aku memaksa diriku agar membencimu, setiap hari, ketika kulihat kamu bersama kekasih barumu. Aku berusaha keras, setiap hari, menerima kenyataan yang begitu kelam.
Bisakah kau bayangkan rasanya jadi orang yang setiap hari terluka, hanya karena ia tak tahu bagaiman perasaan orang yang dicintainya? Bisakah kau bayangkan rasanya jadi aku yang setiap hari melihatmu bahagia dengannya?
Bisakah rasanya jadi seseorang yang setiap hari menahan tangisnya agar tetap terlihat baik-baik saja?
Kamu tidak bisa. Tentu saja. Kamu tidak perasa.